Selasa, 27 Mei 2008

Iklan TV sarana Kembali ke Indonesia Raya

Judul : Iklan TV sarana Kembali ke Indonesia Raya
Tema : 100 tahun kebangkitan bangsa
Oleh : Salwangga
Untuk dikirim ke : lomba@menulismudah.com.

Ada seorang mahasiswa dibawa ke rumah-sakit. Katanya habis demo tertimpuk batu dari aparat. Saat menyadari kepalanya dibebat, ia tersenyum bangga "aku telah berbuat heroik untuk membela kepentingan rakyat miskin", batinnya. Tapi saat melihat lututnya pecah, ia meraung-raung menggemparkan seisi ruang. Tak luput suster penjaga kalang kabut bergegas menghampiri. "lututku telah hancur, dimana lagi akan kutaruh otakku" jeritnya pilu. Suster penjaga hanya tersenyum tak berani bersuara "pantas saja demo kalian selalu anarkis, mengundang kemacetan. Ternyata otak kalian di dengkul toch".

Beberapa puluh tahun silam, seorang anak bangsa Wage Rudolf Supratman begitu yakin dengan pikirannya tertuang dalam bait-bait lagu. Tidak banyak berpengaruh jika hanya badan saja yang bangkit. Jiwa yang lebih utama. Baru kemudian badan.

"Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya"

WR Supratman hanyalah satu dari sekian pemuda yang telah merintis (menyumbangkan) kreasinya untuk lahirnya Indonesia Raya. 1945 merupakan tonggak sejarah yang tidak mungkin dielakkan lagi. 37 tahun sebelum proklamasi hari kemerdekaan, kaum terpelajar telah mulai merintis kebebasan berbangsa melalui lobi-lobi internasional melalui perundingan-perundingan dengan pihak luar negeri. Jago-jago diplomasi saat itu seperti DR Wahidin Sudiro Husodo, DR Sutomo, Sudarpo, dan lain-lainnya, para pemuda berusia masih berkisar 30 tahun telah demikian kuat dalam berprinsip sesuai karakter masing-masing.

Kesempatan mengecam pendidikan setaraf HIS MULO maupun STOVIA benar-benar dimanfaatkan untuk menimba ilmu menempa diri. Itulah saat titik balik sejarah bermulanya kebangkitan nasional.

Lain dulu lain pula zaman sekarang. Bagaimanapun juga jalur diplomasi dan intelektualitas lebih dapat mencuri perhatian bangsa-bangsa di dunia. Dari pada sekedar demo berujung tindakan anarkis tak berkonsep. Spontanitas, mengendepankan urat daripada pikiran. Jauh dari kesan intelek.

Hasil gemblengan para pemuda pelopor perjuangan berbasis intelektualitas sejak tahun 1908, selama 37 tahun kemudian terbukti melahirkan "proklamasi kemerdekaan" dan mendapatkan pengakuan dunia internasional secara de facto maupun de juro. Bung Karno dan Bung Hatta, dua negarawan besar negeri ini harus mengakui kecerdasan para pemuda dalam mencetuskan pemikiran melepaskan diri dari belenggu penjajah.


Kini, tahun 2008, berbilang 100 tahun hari kebangkitan nasional, seyogianya menjadi titik balik kebangkitan kembali. Tidak mungkin secepat mengedipkan mata memang. Di depan kita begitu nyata masalah-masalah yang harus segera diselesaikan. Kalau saja negeri dongeng cukuplah mengusap lampu wasiat, dilanjutkan tiga permintaan, tentulah dalam sekejap mata jin sakti langsung mengubah keadaan.

Media televisi, sangat memungkinkan untuk mendongkrak pemikiran-pemikiran pemirsa. Menyebarkan kembali Visi dan Misi Bangsa. Gunakan media penyiaran untuk mencerdaskan anak bangsa. Berawal dari sekarang, 1 abad peringatan hari kebangkitan Nasional, anak-anak dan pemuda 20 atau 30 tahun mendatang pastilah merdeka jiwanya, merdeka pikirannya untuk kemudian bangkit jiwa dan raga secara lebih berarti menuju "The Real" Indonesia Raya. Sebagaimana harapan WR Supratman telah torehkan dalam bait syair lagu kebangsaan.

Tak usahlah terlalu cepat berharap dengan mengandalkan mahasiswa saat ini, apalagi para pemimpin negeri yang semakin tua. Nyata-nyata kaum intelektual malah lebih mengedepankan demo tak bermutu untuk menunjukkan eksistensi. Berikan kesempatan lebih kepada generasi muda untuk menunjukkan kredibilitas. Sudah saatnya angkatan tua menjadi korektor dan pembimbing. Lebih fokus menjadi Kreator, Konseptor. Relakan kaum muda menjadi Eksekutor, lebih menunjukkan eksistensi diri dalam rel dan pengawasan angkatan tua.

Mengenang beberapa tahun silam DR Sutomo CS, setelah demo langsung mengumpulkan para rekan untuk membicarakan konsep diplomasi lebih lanjut akan ditempuh dengan penuh semangat nasionalisme. Mahasiswa sekarang ? sehabis demo dengan atribut pengikat kepala masih basah oleh keringat nongkrong dipinggir jalan parkir seenaknya, merokok dengan gagah sambil berhaha-hihi, lupa pada apa yang barusaja mereka demokan. Kepentingan rakyat miskin menjadi pembungkus manis mentalitas anarkis.

Endapkan masa lalu, konsentrasi pada masa kini. Godok dan siapkan mental (jiwa) anak-anak & pemuda untuk menuju 20 tahun mendatang benar-benar merdeka. Merdeka berkreatifitas, berkarya, berinovasi & berimprovisasi berbasis intelektualitas membangun negeri.

Bangkitlah para pemuda. Kobarkan kembali semangat berbangsa dan bernegara. Pemuda harapan bangsa. Ingatlah selalu pesan proklamator kita "kutitipkan bangsa dan negara kepadamu". Ditambahkan lagi oleh beliau betapa bangganya pada kaum muda "berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia".

Satu iklan pada media televisi sangat menarik perhatian. Dedy Mizwar. Resapi ucapan berikut saya coba kutip dari iklan non-komersiil 100 tahun kebangkitan bangsa :

"bangkit itu, susah.

Susah melihat orang yang susah, senang melihat orang yang senang.
Bangkit itu, takut.
Takut korupsi, takut makan yang bukan haknya.
Bangkit itu, mencuri.
Mencuri perhatian dunia dengan mengukir prestasi.
Bangkit itu, marah.
Marah martabat bangsa dilecehkan. Diinjak-injak.
Bangkit itu, malu.
Malu jadi benalu. Malu hanya minta melulu.
Bangkit itu, tidak ada.
Tidak ada kata menyerah. Tidak ada kata putus asa.
Bangkit itu, aku.
Untuk Indonesia"

Iklan menggugah kesadaran berbangsa, penuh spirit. Nuansa mistik beraroma kebangkitan rasa begitu kental dikemas apik dibawakan dengan tajam oleh sang aktor. Sudah saatnya konsep iklan komersial pertelevisian diubah. Bagaimanapun juga media televisi sangat mendominasi menjadi konsumsi wajib bagi sebagian besar masyarakat. Tantangan terbesar dihadapi saat ini adalah, pemerataan pendidikan. Terutama aplikasi atau hasil/target yang hendak diperoleh.


Rakyat miskin yang sering dikategorikan sebagai kaum marginal boeh jadi tidak mengecam pendidikan tinggi, tapi jelas. Mereka sangat mengenal acara TV. Bahkan nyaris lebih banyak nongkrong di depan TV bisa menghabiskan 4 – 5 jam rata-rata orang perhari.

Gunakan media iklan bukan hanya untuk target profit secara komersial, tetapi lebih dikolaborasikan dengan menebarkan semangat kebangsaan dan kepedulian. setiap hari bahkan setiap jam sekali seluruh saluran TV swasta diwajibkan menyiarkan iklan kebangkitan bangsa. Lambat laun secara perlahan pasti menyerusup relung hati masyarakat luas sehingga terpateri semangat kebersamaan berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun juga, sesuatu yang dilakukan secara terus menerus hasilnya lebih bisa terarah daripada secara besar-besaran tetapi hanya setahun sekali.

Indosat misalnya, telah memulai dengan iklan versi terbaru "Indosat Cinta Indonesia". Sangat dibutuhkan iklan-iklan inspiratif sejenis untuk mendongkrak kembali semangat kebangkitan demi mencapai kejayaan Indonesia Raya.

Mengutip pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang yudoyono saat memperingati satu abad memperingati hari kebangkitan nasional di senayan "bersama ktia bisa membangun kemali Indonesia" bahkan pekik "Indonesia…. Bisa!, Indonesia… Bisa!, Indonesia … Bisa!". Begitu semangat dan gegap gempita Bapak Presiden menyemangati seluruh lapisan masyarakat untuk membangun kebersamaan.


Mahasiswa jangan sampai terjebak sikap reaksionis dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Tunjukkan keberadaan mahasiswa dengan karya yang mencerminkan intelektualitas sejati. Skripsi, tesis, maupun disertasi dibuat bukan hanya untuk memenuhi syarat kelulusan belaka. Sebarkan, agar dapat dimanfaatkan untuk membangun negeri. Aparat keamanan jangan lagi terpancing propaganda sebagian kecil kaum muda. Mereka hanya butuh bimbingan dan pengertian. Kembalilah berfungsi sebagai pengaman, bukan menambah kacau keadaan.

Bangkitlah kaum muda, inteleklah kaum mahasiswa. Pemuda adalah harapan bangsa.